Pilihan berangkat setelah shalat Magrib dari Moncongloe, adalah keputusan yang tidak tepat. Kami mengutuki keputusan itu saat kendaraan kami stuck di tengah simpang empat yang belum jauh dari rumah. Rute yang kami pilih adalah rute tercepat untuk sampai ke Rotterdam, berdasarkan warna biru, oranye dan merah yang ditunjukkan maps.
Kami lupa. Ini Makassar, sehabis hujan. Harusnya kami tidak boleh gambling. Apalagi, pertunjukan ini adalah satu dari sekian banyak panggung yang ingin saya alami secara langsung. Dan langit masih memberkati, kami tiba, 30 menit sebelum panggung dibuka.
Sebagai anak mahasiswa 20 tahun lalu, yang numpang belajar di Teater Kampus, Teater Garasi yang bertransformasi menjadi Garasi Performance Institute adalah kiblat keberhasilan yang selalu saya kagumi dan tidak berhenti sampai hari ini. Karenanya, saya melambungkan ekspektasi dan imajinasi pertunjukan setinggi yang saya bisa.
Setelah dipersilakan ke area penonton, saya dan komrad memilih tempat duduk di tengah. Dan sejak duduk, saya sudah menikmati pertunjukan.
Panggung yang dan tata lampu yang megah, aktor yang sedang pemanasan di kanan kiri panggung, dan satu aktor yang sudah bersiap di sudut kiri panggung dengan kostum yang dibuat dari sampah. Pikir saya, dia maskot untuk pementasan ini yang konon akan bicara tentang bencana ekologi di muka bumi yang sedang kita hadapi.
Waktu Batu. Rumah yang Terbakar (WB.RyT) adalah pementasan versi keempat yang telah digodok sejak tahun 2001, untuk versi terakhir ini yang disutradarai oleh Yudi Ahmad Tajuddin telah dipentaskan tiga kali di gelaran berbeda di beberapa wilayah di Indonesia, dan beruntung Makassar juga dapat giliran.
Seperti yang telah mereka klaim, pertunjukan ini adalah pertunjukan silang media antara teater, video game dan sinematografi. Walau bukan hal baru, pertunjukan ini bagi saya pribadi akan jadi menarik, sejak awal, saat panggung dibuka dengan deru musik ala Majelis Lidah Berduri a.k.a Melbi.
Panggung dimulai, aktor masuk satu persatu, dan sejak menit pertama -tidak mengada ada, mata saya hanya tertuju pada keseluruhan pementasan. Panggung ini memunculkan banyak elemen yang tidak terlepaskan satu sama lain.
Di awal, saya mengakui saya kewalahan menyorot aktor yang mana, tapi tidak lama saya bisa beradaptasi, kemampuan mata kita memang tidak terbatas. Setiap aktor bagi mata saya sedang memerankan karakter yang bisa jadi adalah “sembarang orang”.
Sepanjang pementasan, saya terpukau dengan banyak hal, namun yang paling tidak berhenti saya kagumi adalah kemasan adegan yang ditampilkan melalui proyeksi gambar di latar panggung, di tengah, kiri dan kanan.Menggunakan video mapping yang butuh tidak hanya keterampilan sinematografi yang cakap namun juga sense akan naskah dan keseluruhan pementasan.
Saya juga mengagumi inisiatif konsep belakang layar yang disimpan di sayap kanan kiri panggung. Dalam pementasan teater biasa, hal ini tentu fatal, bocor sedikit dianggap mengurangi estetika.
Akhirnya belakang panggung dipertontonkan secara terbuka. Aktor ganti kostum di sana, istirahat menunggu giliran, bahkan crew yang mengurus kamera dan properti duduk di sana. Apakah mencederai estetika panggung? Tentu tidak bagi saya yang menikmati semua adegan itu.
Penggunaan multimedia di pementasan ini dikemas nyaris rapih minim kesalahan teknis, membuktikan bahwa kolaborasi seniman di dalamnya berjalan setara. Mereka mengerti dan menjadi bagian yang sama dalam pementasan ini, mereka tidak ditempelkan begitu saja atau seolah olah ada. Mata saya juga disuguhi permainan cahaya yang megah namun tidak berlebihan.
Setiap orang, sembarang orang di pementasan ini adalah aktor. Mereka menjalankan perannya dengan maksimal. Dan ditunjukkan dengan detail dan mumpuni oleh sang sutradara.
Ajaibnya, pementasan ini tidak hanya tentang apa yang mereka tampilkan, tapi apa yang sedang mereka bicarakan, isu ekologi dan keadilan gender, matang dibahasakan dengan lugas. Ditulis berdasarkan mitologi Jawa, isu yang diangkat Ugoran Prasad sebagai salah satu penulis adalah tentang wajah kemanusiaan, mencoba menyentil setiap orang, mencoba bergesekan dengan “sembarang orang”.
Pertunjukan ini menunjukkan pada saya, sembarang orang ini, bahwa kita, manusia adalah spesies yang sangat rentan. Terancam dan ketakutan. Walau begitu, manusia jugalah yang menjadi pemicu utama ketiadaan masa depan.
Cerita yang diangkat menurutku sangat kelam, namun dikemas sangat performatif bahkan beberapa adegan dibuat lucu dan interaktif. Bunyi dan musik yang disajikan Melbi sepanjang pertunjukan, seperti biasa, punya kekuatan magis tersendiri. Dan, menjadi sempurna dengan lantunan Cahaya, Harga menutup kisah kisah yang terhimpun di naskah ini.
Ini adalah 70 menit pertama yang saya lalui, tanpa melihat sekalipun ponsel saya bahkan untuk mengambil gambar. Kepala saya diisi pertanyaan, proses seperti apa yang mereka lewati untuk sampai di sini.
Pertanyaan itu mungkin nanti akan bisa dijawab oleh teman teman yang menjadi kolaborator mereka di Makassar, dari Rumata’ Art Space dan Kala Teater. Karena tak sempat berbicara langsung atau mengulik pada yang punya gawe’. Mungkin saya terlalu excited begitupun dengan ratusan penonton malam itu.
Yang paling utama, sebagai orang yang mempercayai bahwa teater adalah ruang aspirasi, ruang bicara, ruang belajar, ruang melawan, WB.RyT menyuguhkan inisiatif yang patut kita tiru. Teater memang perlu untuk selalu berbenah, butuh terbuka dari pakem pakem tradisional yang kadang menjadi benteng besar dengan penikmat seni, butuh sentuhan kekinian agar bisa relate dengan anak anak muda. Setidaknya, menjangkau penonton yang lebih besar.
Pertunjukan mungkin akan berhenti setelah riuh tepuk tangan bergemuruh, tapi gagasan mereka akan dibicarakan oleh banyak orang. Oleh siapa saja yang datang menonton, oleh sembarang orang.
Bukan hanya oleh mereka seniman teater, tapi oleh mereka yang tertarik pada film, yang ingin belajar video mapping, yang terjun pada dunia gaming, mereka yang mencintai Melbi, dan sembarang orang lainnya yang datang di dua malam pementasan mereka. Gagasan ini akan tentu akan terus bergulir. Dan bukankah begitu sejatinya panggung? Ia harusnya mengantarkan kita pada realitas yang nyata yang akan kita bicarakan, jika memungkinkan untuk kita ubah.
Saya pulang dengan amunisi penuh. Untuk belajar, untuk mengulik banyak kemungkinan yang bisa dilakukan di panggung saya. Saya, sembarang orang ini mencoret satu bucket list lagi. Saya menuju pulang membelah malam, menuju rumah, rumah yang saya harap menghadirkan masa depan tanpa ketakutan untuk anak anak di masa depan.
Terima kasih, Garasi Performance Institute dan tim Waktu Batu. Rumah yang Terbakar.
Harnita Rahman