Saya melihat musik sebagai produk budaya yang punya potensi membangun manusia. Melalui musik, entah bunyi nada, hentakan irama ataupun pilihan kata, bahkan proses penciptaan karya, secara bersamaan atau tidak, melalui hal tersebut, saya selalu berharap bisa menangkap sesuatu.
Berbicara, berpendapat, atau menentukan sikap politik melalui musik menurut saya adalah sesuatu yang lumrah. Toh sebuah karya tidak akan lepas dari tendensi penciptanya. Walau setelah lepas landas dan menjadi sebuah produk ia akan punya kaki-kakinya sendiri yang melesat liar di tiap kepala yang tentu tidak akan melulu sama.
Mendengar secara utuh Mesin Manusia karya Kapal Udara di penghujung 2019, adalah serupa anugerah penutup tahun akan optimisme perjalanan musik mereka. Cerita ini bukan tentang panggung mereka yang semakin menanjak, semakin digandrungi dan membuat saya cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa tidak butuh lama band ini akan menjadi salah satu ikon musik di kota Makassar atau mungkin di Sulawesi.
Tapi seperti biasa, saya lebih senang mengulik sendiri bagaimana Mesin Manusia diantar dengan baik, dengan sama matangnya saat album pertama dilepaskan sekitar 2 tahun lalu.
Saya ingat bagaiamana Viny dan Ale menceritakan saat album ini baru akan dibicarakan. Gagasan mereka telah jelas saat itu, bahwa album ini akan bercerita tentang kelibat manusia yang mengubah kehidupan. Perang, pelaut, perempuan, mesin dan pekerja.
Gagasan ini menurut saya menjadi cerita babak selanjutnya setelah Seru dari Hulu bergema di nusantara. Seru dari Hulu yang bercerita tentang hulu kehidupan memang sepatutnya disambut dengan cerita bagaimana manusia bekerja.
Mesin Manusia dalam penyajiannya harus diakui jauh lebih kaya dibanding Seru dari Hulu. Mereka jauh lebih “cerewet” pun musik mereka jauh lebih eksploratif, tanpa meninggalkan kriteria khas mereka yang tetap setia berada di jalur folk. Menurut saya panggung membuat mereka jauh lebih berani mengeksplor bunyi-bunyi yang nyaris tidak ada di album pertama.
Herannya, semangat yang saya rasakan saat mendengar album ini secara utuh sama dengan yang saya rasakan saat mendengar album pertama. Kita mau tidak mau akan ikut menari dan melepaskan diri. Sayangnya, sejak dirilis secara digital di pertengahan tahun, saya belum pernah menyaksikan mereka membawakan album ini di atas penggung.
Pelibatan Aan Mansyur dan Nurhadi Sirimorok sebagai kurator menjadi proses yang menurut saya baru. Walau dalam beberapa proses kreatif karya album musik telah menjadikan penelitian dan diskusi sebagai proses menelurkan karya sudah cukup banyak dikerjakan, tapi melibatkan peneliti sekaligus penulis untuk terlibat sebagai kurator menegaskan bahwa Kapal Udara serius dengan apa yang ingin mereka kabarkan lewat lagu-lagu mereka.
Viny menjelaskan bagaimana posisi Aan dan Dandi sebagai partner diskusi dalam menentukan bagaiamana agar gagasan yang telah mereka sepakati tertuang padat dalam lirik. Semua lirik dalam lagu ini dikerjakan oleh Kapal Udara lalu dikurasi oleh mereka berdua. Serupa penyelaras bahasa dalam buku.
Album ini bertutur, walau tidak terlalu lugas, tentang wajah pembangunan manusia di zaman yang terus melaju. Dalam Kerja Rodi pun Roda Pedati sama bercerita bagaimana kita manusia terperangkap dalam pilihan-pilihan duniawi yang memenjara namun mesti terus dijalani.
Bahwa pilihan hidup yang membentang entah akan berhadapan dengan badai atau langit cerah, hidup harus tetap melaju seperti tutur mereka lewat Kapal Udara.
Doa Penanti, seperti yang mereka katakan saat rilis, bercerita bagaimana perempuan sebagai garda penjaga rumah, menjadi yang paling rentan terhadap kealpaan hidup. Kekerasan, domestifikasi, dan tuntutan-tuntutan yang kerap menjustifikasi. Nomor ini menjadi andalan saya di album ini.
Serdadu tegas menggambarkan bagaimana perang bukanlah cerita tentang menang dan kalah. Pada akhirnya ia adalah kisah bertahan hidup para serdadu di medan perang. In the name of “entah.”
Mesin Manusia menceritakan kisah tentang manusia yang bertransformasi mencari bentuknya yang paling cocok dengan zaman yang mereka diami. Kenyataan miris yang dihadapi, dijawab dengan optimis oleh Kapal Udara bahwa setiap kita tidak sendiri.
Teman adalah kekuatan. Berjalan bersama, bangkit bersama, akan menjadi kekuatan yang berarti untuk terus bertahan. Apapun pilihan hidupmu.
Rilisan ini secara fisik dirilis dalam kemasan box set sebanyak 100 pcs di akhir tahun lalu menyusul dalam bentuk cd yang teman-teman bisa dapatkan di beberapa record store di Makassar.
Kapal Udara di album ini masih setia menggandeng Gunawan Adi a.k.a Benangbaja yang menerjemahkan lagu mereka menjadi artwork yang selalu detil dan apik. Juga turut menambah kesan artisitik dalam penyajian video lirik yang bisa diakses di channel Youtube Kapal Udara.
Album ini baik dari proses penciptaan, gagasan yang mereka serukan hingga pelibatan banyak orang di dalamnya adalah presentasi hasil belajar Kapal Udara yang tidak berhenti menjejal kemungkinan-kemungkinan.
Mereka menjadikan setiap panggung, setiap orang yang mereka temui, setiap tempat sebagai bagian dari proses belajar dan berkarya mereka dan sama sekali bukan sebagai ajang merebut popularitas. Setidaknya itu yang saya lihat. Mereka menikmati setiap proses yang membesarkan mereka sebagai proses belajar.
Melalui musik yang mereka presentasikan, mereka sedang membangun diri mereka sendiri, tentu bukan sebagai mesin namun selalu sebisa mungkin sebagai manusia.
Terakhir, saya ingin bilang bahwa karya ini menunjukan kedewasaan mereka. Sikap dewasa yang tidak membuat mereka harus menjadi sok bijak dan menyebalkan. Musik mereka tetap berseru. Album ini saya percayai akan mengantar Kapal Udara bertemu banyak hal (lagi) untuk kembali diceritakan, untuk kembali diserukan.
Terima kasih untuk selalu mau berkarya. Sungguh membanggakan.
Penulis: Harnita Rahman