Penulis: Harnita Rahman
“One is not born a woman, but becomes one”
Simone de Beauvoir, sastrawan feminis Prancis menyatakan bahwa seorang perempuan tidak lahir sebagai perempuan tapi mereka dijadikan perempuan. Hal tersebut mungkin akan mudah kita bantah toh tubuh dengan vagina sudah cukup mengidentifikasi keperempuanan manusia saat lahir. Tapi, tidak semudah itu bagi semua perempuan.
Perempuan sejak lahir tumbuh berdasarkan keinginan orang orang di sekitarnya. Perempuan harus melakukan dan tidak melakukan sesuatu karena ia seorang perempuan. Coba bayangkan! Sejak kecil, dalam pola pengasuhan, anak perempuan sangat diperhatikan dalam terminologi yang tidak terlalu bagus. Langkahnya harus hati-hati, jika berlari mereka diminta untuk berjalan pelan. Jika ia selalu bersungut-sungut ,ia dituntut untuk tersenyum. Jika duduk santai, mereka diminta bersibuk sibuk ria membantu hingga terampil mengerjakan pekerjaan rumah. Jika mengeksplorasi alam, anak perempuan selalu diredam. Jika emosinya membuncah, perempuan dituntut menahannya bahkan melepaskannya. Tidak begitu bagi laki laki bukan?
Kira kira semua itu demi apa? Orang tua selalu bilang, semua itu demi agar tumbuh menjadi perempuan “ideal” yang akan jadi istri sempurna bagi suaminya. Saya yakin, hal tersebut relate dengan kalian. Jika tidak, bersyukurlah. Kalian tumbuh di ruang yang aman.
Sayangnya, Andi Bunga Petta Caya yang saya temui beberapa pekan lalu di Aula Benteng Rotterdam juga merasakannya. Seorang perempuan di usia dewasa akhir, teredukasi dengan baik, kaya, kelihatan sangat berkuasa, tumbuh dalam iklim keluarga yang feodal. Di usia yang bisa dibilang paruh baya, dia menyadari bahwa ia tumbuh dengan tatapan sekaligus tuntutan orang di dalam dirinya. Kesadaran yang mendorongnya mengambil keputusan berani dalam rumah tangganya, bercerai.
Dalam masyarakat modern, bercerai bukan keputusan sulit. Lain halnya dengan Petta Caya yang tumbuh dalam kultur dimana pernikahan, hubungan suami istri adalah sesuatu yang sakral yang harus dipertanggungjawabkan di atas bumi dan langit, dunia dan akhirat. Prosesnya tidak main-main, membutuhkan bukan hanya dua manusia laki dan perempuan tapi dua keluarga besar yang melingkupinya.
Pernikahan dalam Bugis Makassar adalah prestise keluarga. Ajang dimana status ekonomi dan status sosial dipajang secara transparan lewat uang panai. Uang panai di hampir semua pernikahan Bugis Makassar menjadi ajang transaksi tawar menawar dan objeknya adalah perempuan. Kecantikannya, kekayaannya, pendidikannya, pekerjaannya, tutur katanya, prestasinya, capaiannya berakhir dalam angka dan ironisnya lagi ditentukan bukan oleh dirinya. Kejam bukan? Bagi banyak orang ini adalah hal lumrah bahkan ada yang menganggap ini adalah hal yang mesti.
Sore itu (21/2/2024), di Aula Benteng Rotterdam, saya dan banyak mata menyaksikan bagaimana Petta Caya merefleksi pernikahannya. Pernikahan yang pastinya tidak membuatnya bahagia. Pernikahan yang dimulai dengan transaksi tanpa cinta. Pernikahan megah dengan nilai uang panai yang tinggi. Pernikahan yang mengangkat derajat keluarganya di mata manusia.
Petta Caya juga berhasil menyeret saya ke masa lalu bertemu Puang Masri, tantenya. Seorang perempuan yang harus bertekuk lutut menyerah karena mencintai seorang lelaki yang tidak memiliki strata sosial yang sama dengannya, seorang laki laki yang tidak mampu membawa segepok uang panai yang diminta keluarga.
Mungkin kita tidak menyadari masa lalu yang diceritakan Petta Caya masih terjadi di masa ini. Masa dimana pengetahuan terakses dengan mudah, masa dimana perempuan didorong untuk menuntut kesetaraan, namun masih terbelenggu jika berbicara tentang pernikahan. Banyak perempuan berani dan pintar seperti Petta Caya tapi bungkam menghadapi kisruh uang panai untuk pernikahannya sendiri.
Kita harus mengakui bahwa Andi Bunga Petta Caya dan banyak perempuan yang kita lihat maju, modern, berpendidikan, dan punya kekuatan, kadang tidak merdeka sebagai perempuan dalam keluarganya sendiri. Keluarga kadang menjadi ruang yang paling tidak aman bagi perempuan untuk bertumbuh.
Kisah perempuan yang dekat dengan diri kita ini diproduksi dalam monolog Belanja Citra yang diperankan oleh Dwi Lestari Johan. Naskah ini ditulis oleh Nurul Inayah dan disutradarai oleh Arman Dewarti. Naskah ini ditampilkan dengan sangat lugas dan dikemas dalam pertunjukan yang tidak melelahkan.
Kurang lebih 50 menit mendengar cerita hidup Petta Caya adalah waktu yang relevan untuk mendengar sekaligus melakukan refleksi pada diri sendiri terkait citra yang selama ini dilekatkan pada diri perempuan. Properti yang sederhana, cahaya yang tidak berlebihan, membuat saya sangat fokus pada apa yang sedang diceritakan Petta Caya dan apa yang dirasakannya.
Saya juga masuk dalam nostalgia saat Puang Masri, kisah perempuan yang datang dari masa lalu disajikan dengan elemen gambar bernuansa sophia, foto-foto dan tulisan tangan yang ditampilkan dengan video mapping berhasil memanggil potongan-potongan masa lalu, atau perempuan di kehidupan saya yang mungkin mengalami hal serupa.
Seperti biasa, dalam banyak pertemuan dengan cerita atau kisah, khususnya tentang perempuan, saya tidak selalu menaruh harapan banyak. Hanya agar cerita-cerita mereka bergulir sedemikian rupa, menyentuh perempuan lain yang sedang berjuang sendiri, yang citranya ditentukan oleh orang lain.
Selamat Monolog Belanja Citra, atas pementasannya yang reflektif.