Area merokok sebuah gerai donat, tempat Piy biasa menghabiskan waktu bekerja. Kipas angin di langit-langit berputar konstan dengan suara seperti meringkik. Suara itu turut menenggelamkan kegundahan Piy. Di meja, kopi hitamnya sudah lama tidak mengepul.
Ini cangkir kedua. Isi: seperapat.
Piy menyisir rambutnya yang ikal dengan jari. Jari yang agak dingin dan rambut yang agak basah. Hitam.
Kemeja Piy kali ini sedikit kusut. Celana bahannya masih seperti yang ia kenakan sejak tiga hari lalu. Hitam.
Piy masih bersama pikirannya. Hitam.
Sepatu kanannya ia ketuk-ketukkan ke lantai. Hitam.
Piy mencabut satu helai janggutnya. Putih.
Di depan Piy, tampak seorang gadis bersepatu roda melintas. Gadis muda yang ingin bugar dan bergaya. Sepatu rodanya berwarna hijau cerah dengan sedikit aksen garis. Hitam.
Konsentrasi gadis itu buyar ketika menoleh ke arah Piy. Kepalanya bertanya,”Mengapa bapak-bapak itu tampak begitu kusut? Ada masalah apa, ya? Sepertinya pikirannya hitam….”
Gadis itu larut dalam pertanyaannya, tidak sadar bahwa ia terus meluncur mendekati sebuah pohon tempat Amros dan Emros bersantai sambil bermain catur. Sebetulnya tidak terlalu santai juga, sebab Amros dan Emros banyak memikirkan langkah-langkah mendatang.
Gelinding sepatu roda sama sekali tidak macet. Gadis itu semakin mendekat pohon….
Amros tampak terdesak. Pionnya dalam bahaya. Sedangkan Emros terus mengamati ke mana jari Amros akan mengangkat biduk caturnya. Mata Emros melotot meskipun ia kurang tidur akibat semalam tetangganya terus menerus berlatih pianika.
“Aduh!”
Amros dan Emros serentak menengok. Gadis itu menabrak pohon dan terjengkang.
Piy masih terus gundah. Hitam.
“Sakit, Neng?” tanya Amros.
“Pasti sakit, Amros,” jawab Emros.
Gadis itu masih terkapar. Putaran roda-roda di sepatunya semakin melemah.
“Pasti sakit, ya, Emros?” tanya Amros.
“Ya, aku pikir begitu,” jawab Emros.
Pak Khaidir, mantan psikiater, menelepon Amros. Suaranya agak cempreng.
”Halo Amros..”
“Halo Pak Khaidir.”
“Lagi apa?”
“Main catur.”
“Lawan siapa?”
“Emros, Pak Khaidir.”
“Oh, si Emros…”
“Iya…”
“Kapan-kapan lawan saya, dong…”
“Siap, Pak Khaidir!”
“Emros jago, nggak?”
“Jago, Pak Khaidir.”
“Kalau gitu, kapan-kapan saya lawan Emros saja!”
“Siap, Pak Khaidir!”
“Baiklah, kalau begitu, silakan dilanjutkan main caturnya.”
“Siap, Pak Khaidir!”
“Oh, ya, Amros… Kamu kurang jago, ya, main catur?”
“Sudah lama nggak latihan, Pak Khaidir.”
“Oh, begitu. Latihan yang rajin, ya, Amros…”
“Siap, Pak Khaidir!”
“Oke kalau begitu, saya udahan dulu, ya, neleponnya.”
“Kenapa, Pak Khaidir?”
“Saya mau pergi.”
“Oh, begitu…”
“Iya…”
“Siap, Pak Khaidir!”
Telepon ditutup. Sesaat kemudian HP Amros berbunyi lagi.
“Halo?”
“Eh, Amros…”
“Iya, Pak Khaidir, ada apa?”
“Maaf, kepencet.”
“Siap, Pak Khaidir!”
Telepon ditutup. Sesaat kemudian HP Emros berbunyi.
“Halo?”
“Halo, Emros?”
“Iya. Ini siapa, ya?”
“Pak Khaidir…”
“Oh, Pak Khaidir. Ya, ada apa, Pak Khaidir?’
“Kamu lagi main catur, ya, lawan Amros?”
“Iya, Pak Khaidir…”
“Seru?”
“Seru, Pak Khaidir.”
“Amros jago, nggak, mainnya?”
“Jago, Pak Khaidir.”
“Beneran jago?”
“Iya, Pak Khaidir. Jago!”
“Asli?”
“Asli!”
“Oh, begitu…”
“Memangnya kenapa, Pak Khaidir?”
“Nggak…”
“Nggak apa, Pak Khaidir?”
“Tadinya saya mau ajak kamu main catur lawan saya…”
“Oh, boleh, Pak Khaidir. Mau kapan?”
“Tapi, Amros jago?”
“Jago, Pak Khaidir!”
“Apa saya lawan Amros saja, ya?”
“Wah, silakan, Pak Khaidir.”
“Kamu nggak apa-apa?”
“Memangnya kenapa, Pak Khaidir?”
“Kamu gak kecewa?”
“Nggak, kok, Pak Khaidir.”
“Betul?”
“Betul.”
“Sungguh?’
“Sungguh.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Siap, Pak Khaidir!”
“Kalau begitu, udahan dulu, ya, teleponnya?”
“Terserah, Pak Khaidir.”
“Ok.”
“Siap, Pak Khaidir!”
Telepon ditutup.
Gadis bersepadu roda mulai siuman. Teleponnya berbunyi.
“Halo?”
“Halo.”
“Apa kabar gadis bersepatu roda?”
“Saya habis nabrak pohon.”
“Lalu?”
“Pingsan.”
“Lalu?”
“Siuman.”
“Lalu?”
“Pak Khaidir menelepon saya.”
“Oh, begitu…”
“Iya, Pak Khaidir…”
“Ya, ya, ya..”
“Kenapa, Pak Khaidir?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa menelepon?”
“Oh..”
“Oh, apa, Pak Khaidir?”
“Itu, saya mau ngajak kamu main catur.”
“Kapan, Pak Khaidir?”
“Kapan kamu siap…”
“Saya selalu siap, Pak Khaidir!”
“Tapi kamu baru saja siuman…”
“Sudah segar, Pak Khaidir!”
“Betulkah?”
“Betul, Pak Khaidir!”
“Sepatu roda kamu tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa, Pak Khaidir!”
“Syukurlah…”
“Iya, Pak Khaidir.”
“Warnanya masih hijau?”
“Masih, Pak Khaidir.”
“Tidak berubah, ya?”
“Tidak, Pak Khaidir.”
“Bukannya hitam?”
“Ada hitamnya sedikit, Pak Khaidir!”
“Baiklah, kalau begitu. Tapi, kamu sudah tambah jago belum main caturnya?”
“Belum, Pak Khaidir.”
“Belum?”
“Iya, belum.”
“Masih seperti minggu lalu?”
“Masih, Pak Khaidir. Mungkin menurun…”
“Kenapa menurun?”
“Karena tidak dilatih lagi, Pak Khaidir.”
“Terlalu sibuk dengan sepatu roda?”
“Tidak juga, Pak Khaidir.”
“Lalu kenapa?”
“Tidak ada lawannya, Pak Khaidir.”
“Tidak coba main online?”
“Belum, Pak Khaidir.”
“Tidak berlatih jurus sendirian di kamar?”
“Tidak, Pak Khaidir.”
“Oh, begitu…”
“Iya…”
“Hmmm….”
“Gimana, Pak Khaidir?”
“Nanti saya telepon lagi, ya…”
“Siap, Pak Khaidir!”
Telepon ditutup.
Area merokok sebuah gerai donat, tempat Piy biasa menghabiskan waktu bekerja. Kipas angin di langit-langit berputar konstan dengan suara seperti meringkik. Suara itu turut menenggelamkan kegundahan Piy. Di meja, kopi hitamnya sudah lama tidak mengepul.
Ini cangkir ketiga. Isi: nyaris tandas.
Piy masih bersama pikirannya. Hitam.
Sepatu kanannya ia ketuk-ketukkan ke lantai. Hitam.
Piy mencabut satu helai janggutnya. Putih.
Telepon berbunyi.
Piy melihat nama di layar posel. Tidak diangkatnya.
“Mas, mau tambah minum?” tanya penjaja donat. Diseragamnya tertulis namanya: Hania.
“Belum, Hania.”
“Saya bukan Hania. Tadi pagi saya terburu-buru berangkat ke sini, lupa membawa seragam kerja. Ini saya pinjam punya teman saya, Hania. Nama saya Tina, Mas.”
Piy tersenyum kecil-kecilan. Tina tersenyum sedikit lebih besar.
Telepon Tina berbunyi.
“Halo?”
“Sebentar, ya, Mas, saya jawab telepon dulu, “ ujar Tina sopan kepada Piy.
Piy mengangkat tangan tanda mengerti.
“Ya, halo?”
“Apa kabar, Hania?”
“Saya bukan Hania, saya Tina.”
“Oh, iya, Tina…”
“Lupa, ya, Pak Khaidir?”
“Tadi lupa. Sekarang tidak.”
“Ada apa, Pak Khaidir?”
“Tina sedang sibuk?”
“Ya, sibuk biasa, Pak Khaidir.”
“Di gerai donat?”
“Iya, Pak Khaidir.”
“Hari ini kamu makan donat?”
“Belum Pak Khaidir.”
“Jadi makan apa?”
“Ya, ada lah, Pak Khaidir.”
“Oh, ya, ya…”
“Kenapa, Pak Khaidir?”
“Saya mau ajak kamu main catur…”
“Sekarang, Pak Khaidir?”
“Sekarang saya lagi main catur.”
“Oh, jadi kapan, dong, Pak Khaidir?”
“Kapan, ya?”
“Lho, kok malah tanya saya?”
“Saya lihat jadwal saya dulu, ya, Hania..”
“Tina, Pak Khaidir.”
“Oh, iya, Tina.”
“Lupa, Pak Khaidir?”
“Tadi lupa. Sekarang tidak.”
“Baik, Pak Khaidir.”
“Nanti saya hubungi lagi, ya?”
“Siap, Pak Khaidir!”
“Tapi kamu sudah makin jago main caturnya?”
“Sedikit, Pak Khaidir.”
“Oh, ya? Surprise, saya..”
“Begitulah, Pak Khaidir.”
“Baiklah, nanti saya telepon lagi, ya, Hania?”
“Tina, Pak Khaidir.”
“Oh, iya, Tina.”
“Siap, Pak Khaidir!”
“Nanti caturnya pakai punya saya saja.”
“Siap, Pak Khaidir.”
“Saya baru beli papan catur.”
“Impor, Pak Khaidir?”
“Lokal.”
“Siap, Pak Khaidir!”
“Terakhir main, benteng kamu mati, ya?”
“Dua-duanya, Pak Khaidir.”
“Bukan satu?”
“Dua, Pak Khaidir.”
“Oh, ya, ya.”
“Lupa, Pak Khaidir?”
“Tadi lupa. Sekarang ingat.”
“Sip, Pak Khaidir.”
“Baiklah Tina, udahan dulu, ya. Lawan saya sudah menunggu langkah saya.”
“Terdesak, Pak Khaidir?”
“Tidak.”
“Siap, Pak Khaidir!”
Telepon dimatikan.
Diam-diam Piy memperhatikan obrolan itu, kemudian dia ingin menumpahkan kekusutannya.
“Tina?”
“Ya, Mas?”
“Kamu tahu kenapa saya bingung?”
“Mas lagi bingung?”
“Iya.”
“Kenapa, Mas?”
“Saya dipecat jadi buzzer.”
“Wah!”
“Ya!”
Pandangan Piy kembali menerawang, matanyanya kosong. Tina bisa melihatnya.
“Kenapa Mas dipecat?”
“Saya tidak tahu.”
“Padahal Mas jago?”
“Mungkin bukan jago,” Piy merendah, ”tapi berpengalaman.”
“Apa karena budget untuk buzzer dikorupsi?”
“Oh, itu hoaks,” jawab Piy cepat.
Tina mengangguk-anggukan kepala.
Di depan mereka, tampak seorang gadis bersepatu roda melintas. Gadis muda yang ingin bugar dan bergaya. Sepatu rodanya berwarna hijau cerah dengan sedikit aksen garis hitam. Jidatnya diperban.
Oleh: Harlan Boer